Jelajah wisata budaya merupakan salah satu kegiatan dari Ambalan Ranggong Dg. Romo dan Opu Dg. Risadju, UKM PRAMUKA UNM. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 2 dan 3 Oktober 2021. Nah, tepatnya hari kedua tanggal 3 Oktober 2021, kami berkesempatan mengunjungi Rumah adat yang ada di Benteng Somba Opu, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.
Untuk mengifisienkan waktu kami dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu dua kelompok dari Opu Dg. Risadju dan dua kelompok dari Ranggong Dg. Romo. Kebetulan kelompok Ranggong Dg. Romo hanya Rumah Adat Pare-pare dikarenakan Rumah Adat Enrekang tidak ada narasumbernya.
Foto bersama di Rumah Adat Pare-Pare |
Di rumah adat pare-pare, kami bertemu langsung dengan pengelola rumah adat tersebut yang bernama Dg. Emba. Beliau sudah lama menjaga rumah adat tersebut.
Menurut beliau, kekayaan budaya Indonesia dapat terlihat dari beragam bentuk rumah adat khas di setiap daerah. Salah satu yang menarik perhatian adalah jenis-jenis rumah adat Sulawesi Selatan. Tak hanya bentuk dan struktur yang beragam, rumah adat nusantara biasanya memiliki makna atau filosofi di dalamnya. Adapum rumah adat suku Bugis Pare-Pare di Sulawesi Selatan yang memiliki bangunan umumnya berpanggung dan biasanya disebut bola Ugi, artinya “ Rumah Bugis”.
Rumah panggung kayu yang berbentuk persegi empat memanjang kebelakang, yang terdiri dari beberapa tiang kayu menjulang keatas yang mana kayu yang menjulang dan muncul tersebut sebagai falsafah hidup orang Bugis yang disebut sulapa eppa.
Konsep sulapa eppa (persegi empat) bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal, arti sulapa eppa (persegi empat), yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang bertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia (elizabeth morell 2005: 240). Menurut mereka segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki ‘sulapa eppa’. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah sempurna jika berbentuk segi empat berarti memiliki empat kesempurnaan konstruksi bangunan rumah ini dibuat lepas pasang (knock down) sehingga bangunan ini dapat dipindahkan dari suatu tempat ketempat lain.
Bentuk dasarnya berpanggung dan di soskong oleh alliri atau tiang vertikal. Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan social yang dapat mempengarui bentuk rumah mereka, yang ditandai dengan simbol-simbol khusus dan dapat dilihat pada bentuk tutup bubungan atap rumah yang disebut timpak laja. Berdasarkan pandangan hidup masyarakat Bugis, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri dari tiga tingkatan, yakni rakkeang (alam atas), ale bola (alam tengah), awa bola (alam bawah), dimana keseluruhan bagian tersebut masing-masing memiliki fungsi.
Penulis : Azir Zuldani
Editor : Humas UKM Pramuka UNM
0 comments