Thursday, 4 December 2025

Dari Sumpah ke Aksi: Pemuda Sulsel Menjaga Arti Kemerdekaan dan Simbol Nasional di Tengah Tantangan Baru

Setiap kali kita membahas soal kemerdekaan, biasanya pikiran langsung terbang ke masa lalu: para pejuang, Proklamasi 17 Agustus 1945, atau peristiwa legendaris Rengasdengklok. Tapi menariknya, semangat itu ternyata tidak berhenti di generasi terdahulu. Di berbagai sudut Sulawesi Selatan, kita bisa melihat bahwa pemuda hari ini masih terus memaknai kemerdekaan, meski tantangannya sudah jauh berbeda dari para pendahulu.

Di Makassar,suasana peringatan Sumpah Pemuda beberapa waktu lalu sempat ramai bukan hanya oleh upacara, tetapi juga oleh aksi pemuda yang turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan mereka. Ada yang menyoroti ekonomi, ada yang bicara soal lingkungan, ada pula yang menuntut penegakan aturan di sektor tambang. Beberapa demonstrasi bahkan memicu kepadatan lalu lintas dan perhatian publik. Ini menunjukkan bahwa pemuda Sulsel tidak tinggal diam menghadapi persoalan di sekitar mereka; mereka merasa punya hak dan kewajiban untuk terlibat.

Fenomena ini sebenarnya sejalan dengan pandangan Benedict Anderson tentang “imagined community”, bahwa suatu bangsa tidak hanya berdiri karena wilayah dan pemerintah, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang dibangun lewat simbol, narasi, dan aksi kolektif. Saat pemuda Sulsel menyuarakan pendapatnya, mereka sedang menunjukkan bahwa rasa memiliki terhadap Indonesia itu nyata, bukan sekadar tulisan di buku pelajaran.

Namun, tentu saja semangat partisipatif itu lahir dari situasi riil yang dialami pemuda. Tantangan yang mereka hadapi sekarang tidak ringan. Di beberapa wilayah Sulawesi Selatan, isu pengangguran masih menjadi masalah serius. Banyak anak muda merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga mereka mencari ruang lain untuk mengekspresikan gagasan mulai dari aktivitas sosial sampai unjuk rasa. Kondisi ini membuat suara pemuda semakin lantang karena mereka ingin perubahan dengan cara yang mereka pahami.

Belum lagi soal lingkungan dan konflik tambang yang ikut mengguncang beberapa kabupaten. Ketika pemuda ikut menolak aktivitas tambang yang dianggap merusak lingkungan atau merugikan masyarakat, itu menunjukkan bahwa mereka peduli pada masa depan daerahnya. Mereka ingin pembangunan berjalan, tapi bukan dengan mengorbankan keselamatan warga atau kelestarian alam. Sikap kritis seperti ini sebenarnya justru sejalan dengan semangat kemerdekaan: berani menyuarakan kebenaran demi kebaikan bersama.

Di sisi lain, ancaman radikalisasi yang sempat terjadi di wilayah seperti Gowa juga membuat banyak pihak semakin sadar pentingnya literasi digital dan pendampingan pemuda. Zaman sekarang, ujaran kebencian dan paham ekstrem bisa menyelinap lewat media sosial, dan karena itulah generasi muda perlu dibekali kemampuan memilah informasi. Kalau tidak, mereka bisa mudah terjebak narasi yang bertentangan dengan nilai kebangsaan.

Dalam konteks menjaga identitas nasional, simbol-simbol negara seperti Garuda Pancasila, Sang Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya memegang peran penting. Simbol ini bukan sekadar hiasan di dinding kantor atau atribut upacara sekolah—mereka adalah pengingat jati diri bangsa. Banyak orang hafal jumlah bulu Garuda atau susunan warna bendera, tetapi tidak semua memahami maknanya. Padahal di situlah kekuatan simbol: ia menyatukan bangsa yang beragam, dari Toraja sampai Selayar, dari Makassar sampai Pinrang, dalam satu kesadaran yang sama.

Ketika pemuda mengenali makna simbol nasional, mereka jadi lebih paham bahwa perjuangan tidak berhenti pada upacara, tetapi hidup dalam tindakan sehari-hari: menghargai perbedaan, menjaga persatuan, dan berkontribusi sesuai kemampuan.Pemahaman simbolik ini membantu menanamkan karakter, bukan sekadar hafalan pasif. 

Di Sulawesi Selatan, banyak pemuda kini mulai bergerak lewat ruang-ruang baru. Ada yang mengembangkan UMKM digital, ada yang menginisiasi kegiatan penghijauan, ada pula yang membangun komunitas literasi dan ruang diskusi untuk edukasi publik. Ini menunjukkan bahwa peran pemuda tidak sebatas turun ke jalan, tetapi juga membangun solusi nyata yang berdampak bagi masyarakat.

Akhirnya, mengisi kemerdekaan bagi pemuda hari ini bukan lagi soal mengangkat senjata atau berdebat tentang ideologi besar seperti era dahulu. Tantangannya justru lebih halus: bertahan di tengah kemajuan teknologi, menjaga identitas nasional di era global, menggunakan suara untuk perubahan yang konstruktif, sekaligus memastikan bahwa simbol-simbol bangsa tetap hidup dalam perilaku mereka.

Dan dari apa yang tampak hari ini, pemuda Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa mereka siap memikul peran itu. Dengan cara mereka melalui kritik, aksi sosial, kreativitas, dan keberanian bersuara generasi muda membuktikan bahwa kemerdekaan bukan hanya warisan, tetapi juga amanah yang terus mereka hidupkan.

Citizen Report: Juriasari                             

Editor: Humas UKM Pramuka UNM


Load disqus comments

0 comments